Sebelum kita mengambil keputusan hukumnya, kita bahas dahulu hadits yang dijadikan sandaran bagi orang-orang yang menganggapnya sunnah. Kita katakan, ada tiga hadits mengenai mengadzankan bayi, yaitu:
Pertama : hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata :
”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adzan ditelinga Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah radliyallahu ‘anha melahirkannya “.
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At Tirmidzi (4/1514), Al Baihaqi dalam Al Kubro (9/300), Ahmad (6/391-392). Ath Thabrani dalam Al kabiir (931, 2578), Abdurrozaq (7986), Ath Thayalisi (970), Al hakim (3/179) dan Al Baghawi dalam Syarhus sunnah (11/273). Semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya. Dalam sanad ini terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah, ia lemah. Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata :” munkar haditsnya “. Ad Daraquthni berkata :”Yutrak (ditinggalkan haditsnya). Sementara itu Ath Thabrani meriwayatkan dalam al kabiir (926, 2579) dari jalan Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al Husain dengan tambahan: ”Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam adzan ditelinga Al Hasan dan Al husain, diakhirnya dikatakan:” dan beliau memerintahkannya“. Dan Hammad bin Syu’aib sangat lemah, selain itu ia diselisihi oleh Sufyan Ats Tsauri dalam riwayat lalu sehingga riwayatnya munkar secara sanad dan matan.
Kedua : hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al hasan bin Amru bin Saif As Sadusi mengabarkan kepada kami Al Qosim bin Muthayyab dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas:
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan iqomat di telinga kirinya“.
Kemudian setelahnya Al Baihaqi berkata: ”padanya terdapat kelemahan “.
Kita katakan: ”Justru hadits ini palsu, illat-nya adalah Al Hasan bin Amru. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib: ”Matruk“. Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan: ”Ia dianggap pendusta oleh Ibnul Madini, Al Bukhari berkata: ”Kadzdzaab (tukang dusta)“. Ar Razi berkata: ”Matruk “.
Ketiga : hadits Al Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390), dan Ibnu Sunni dalam ‘amal yaum wal lailah (ح – 623) dari Yahya bin Al ‘Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubidillah dari Al Husain bin Ali ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
”Barang siapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, tidak akan bermudharat padanya ibunya bayi“.
Sanad ini palsu, ada dua cacat : Yahya bin Al ‘Ala tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib) dan Marwan bin Salim matruk.
Kesimpulan : hadits mengadzankan bayi adalah dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam ilmu musthalah hadits.
Setelah memaparkan derajat hadits-haditsnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengadzankan bayi itu tidak boleh diamalkan karena haditsnya lemah.
Syubhat 1
Sebagian orang berkilah bahwa Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam fadhilah amal, sehingga hadits mengadzankan bayi boleh kita amalkan.
Jawab :
Kita jawab dengan beberapa jawaban berikut ini :
Jawaban 1 : klaim bahwa para ulama telah bersepakat tidak benar, karena banyak ulama yang tidak membolehkan mengamalkan hadits dha’if walaupun dalam fadhilah amalan, diantaranya adalah Al Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dan lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jamaluddin Al Qashimi dalam kitab Qawa’id Tahdits hal 94 dan kepada pendapat ini Ibnu Hajar condong. Inilah pendapat yang benar karena hadits dha’if itu hanyalah menghasilkan zhann yang marjuh (lemah) dan zhann yang marjuh tidak boleh diamalkan dengan kesepakatan ulama, demikian kata Syaikh Al Bani (lihat Tamamul Minnah hal 34-38).
Jawaban 2 : bahwa maksud Imam An Nawawi adalah hadits dha’if yang ditunjukkan oleh dalil lain yang shahih. Syaikh Ali Al Qari dalam kitabnya Al Mirqat (2/381) berkata :” perkataan beliau: ‘sesungguhnya hadits dha’if boleh diamalkan dalam fadlilah amalan secara ijma sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi maksudnya adalah fadlilah dari amalan yang shahih dari Al Qur’an dan As Sunnah“.
Jawaban 3 : Ibnu hajar dalam Tabyinul ‘ajab (hal 3-4) memberikan syarat bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam fadlilah amalan dengan tiga syarat Yaitu ; hadits tersebut tidak boleh palsu, dan orang yang mangamalkannya wajib mengetahui bahwa hadits tersebut dlo’if, dan tidak boleh memasyhurkan amalan tersebut “. Dan tiga syarat ini tidak dipenuhi oleh banyak orang yang mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan.
Jawaban 4 : Ibnu Hajar berkata: ”Tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits baik dalam masalah hukum maupun fadhilah amalan, karena semuanya adalah syari’at“ (Tabyinul ‘ajab hal 4). Disini beliau menegaskan tidak adanya perbedaan antara masalah hukum dengan fadhilah, sedangkan para ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits dha’if dalam masalah hukum. Ibnu Taimiyah berkata: ”sesungguhnya suatu amal apabila diketahui pensyari’atannya dengan dalil syar’i, lalu ada hadits mengenai keutamaan amal tersebut selama tidak palsu, bolehlah pahala tersebut menjadi benar, dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata : sesungguhnya boleh menghukumi sesuatu itu wajib atau sunnah berdasarkan hadits dha’if. Barang siapa yang mengatakan dengan perkataan ini maka ia telah menyalahi ijma’ ulama“. (Majmu’ Fatawa 1/251).
Syubhat 2
Sebagian orang berkata bahwa Syaikh Muhammad Nashruddin Al Albani menghasankan hadits tersebut dalam kitab beliau yaitu Irwaul Ghalil.
Jawab :
Beliau telah rujuk dari pendapatnya tersebut dalam kitab lain yaitu silsilah hadits dha’ifah (1/494 no 321) beliau berkata: ”Sekarang saya berkata : sesungguhnya kitab Syu’abul Iman telah dicetak, ternyata ia (hadits Ibnu Abbas) tidak layak untuk dijadikan syahid. Karena padanya terdapat rawi kadzdzab dan rawi matruk. Dan aku merasa heran kepada Al Baihaqi dan Ibnul Qayyim yang hanya sebatas menghukuminya sebagai hadits yang dha’if sehingga hampir-hampir aku memastikan bahwa hadits Ibnu Abbas boleh dijadikan syahid. Maka saya wajib mengingatkannya disini…”.
Syubhat 3
Sebagian orang berkata bahwa masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh kita amalkan selama itu masih diperselisihkan.
Jawab :
Sesungguhnya perselisihan ulama bukan dalil untuk membolehkan, yang menjadi dalil adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan telah kita jelaskan bahwa dalilnya dha’if tidak bisa dijadikan hujjah. Al Imam Al Khaththabi mengomentari perkataan sebagian orang yang berkata bahwa ketika Ulama berselisih dalam masalah minuman keras dan bersepakat mengharamkan arak dari anggur, maka kita ambil yang disepakati dan kita bolehkan selainnya“. Berliau berkata: ”Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya ….” (A’lam As Sunan 3/2091-2092).
—
Penulis: Ustadz Badrussalam Lc.
Artikel CintaSunnah.Com